Kuliner Multikultural Asia Tenggara dengan Sejarah 600 Tahun
Enam abad silam, perempuan-perempuan di Asia Tenggara menciptakan masakan Peranakan—sebuah tradisi kuliner yang berakar pada keberagaman budaya. Hingga kini, resep-resep turun-temurun ini terus dilestarikan dan menjadi bagian integral dari identitas kuliner kawasan tersebut.
Ketika Elizabeth Ng berusia tujuh tahun, tempat persembunyiannya saat bermain petak umpet bukanlah taman bermain atau kamarnya, melainkan dapur umum di belakang rumah kayu satu lantai di desanya yang menghadap Selat Malaka.
Ng tumbuh di Malaka, Malaysia, dan diasuh oleh nenek dari pihak ibunya. Dia tinggal bersama empat saudara kandung dan 15 sepupu, sementara orang tuanya berkeliling Asia Tenggara sebagai pedagang.
Setiap hari, setelah pulang sekolah, Ng akan menyelesaikan pekerjaan rumahnya sebelum bergegas menuju dapur umum itu bersama teman-teman perempuan sebayanya. Di sana, mereka akan diberi tugas-tugas kecil yang harus dilakukan dengan hati-hati, seperti mengiris tipis daun jeruk, mengaduk kuah kari yang kental, atau mengolah selai nanas di atas kompor.
Masakan Peranakan adalah perpaduan berbagai pengaruh budaya yang datang dari Tionghoa, Melayu, India, dan lainnya, yang kemudian disesuaikan dengan bahan-bahan lokal. Di Indonesia, masakan ini juga dikenal sebagai ‘Masakan Nyonya’, merujuk pada para perempuan Peranakan yang mempopulerkannya. Para Nyonya ini terkenal akan keahlian mereka dalam menciptakan hidangan-hidangan yang memadukan berbagai rasa dan tekstur yang unik.
Kuliner Multikultural Asia Tenggara dengan Sejarah 600 Tahun
Masakan ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang proses panjang dan teknik memasak yang diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu contohnya adalah proses pembuatan rendang, yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk mengolah daging hingga empuk dan bumbu-bumbunya meresap sempurna. Ada juga laksa, mie berkuah santan yang kaya rempah dan cita rasa.
Sejarah masakan Peranakan tak lepas dari perjalanan dan interaksi budaya yang terjadi di Asia Tenggara selama berabad-abad. Pada abad ke-15, banyak pedagang dari Tiongkok dan India datang ke kawasan ini, membawa serta budaya dan tradisi kuliner mereka. Perkawinan antara pendatang dan penduduk lokal melahirkan komunitas Peranakan yang unik, dengan budaya yang menggabungkan elemen-elemen dari berbagai latar belakang.
Salah satu warisan kuliner yang paling dikenal adalah nasi lemak, sebuah hidangan yang awalnya sederhana namun kini telah menjadi simbol kebanggaan. Nasi lemak terdiri dari nasi yang dimasak dengan santan, disajikan dengan sambal, ikan bilis, kacang tanah, telur rebus, dan mentimun. Di berbagai daerah, variasi nasi lemak juga menunjukkan keberagaman dan adaptasi lokal, seperti penambahan rendang atau ayam goreng.
Di dapur, proses memasak masakan Peranakan sering kali melibatkan seluruh keluarga. Anak-anak belajar dari orang tua dan kakek-nenek mereka, menjadikan dapur sebagai pusat kehidupan keluarga. Elizabeth Ng mengingat bagaimana neneknya dengan sabar mengajarinya cara memilih rempah yang baik, teknik menggoreng yang benar, dan cara mencicipi masakan hingga mendapatkan rasa yang pas.